Rabu, 12 Januari 2011

Ombak Nyalo Simutu Olang

Ombak Nyalo Simutu Olang adalah sebuah cerita yang telah melegenda di Kabupaten Kuantan Singingi, tepatnya di Desa Pangean. Cerita ini masih melekat erat pada masyarakat Pangean. Bahkan nama Ombak Nyalo Simutu Olang digunakan sebagai nama Jalur di ajang Pacu Jalur, sebuah kebudayaan Kuantan Singingi yang telah menjadi event nasional serta masuk agenda wisata Nasional.

TEMPAT KEJADIAN

Cerita ini tejadi di sebuah desa yang bernama Pangean. Tepatnya disebuah sungai yang bernama Batang Pangean. Pangean adalah suatu negeri yang terletak dalam daerah Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi.

Tidak berapa jauh dari Pasar Usang, disebelah baratnya mengalir sebuah sungai Batang Pangean. Sungai itu berasal dari anak-anak sungai yang terkenal dengan nama sungai Tesso. Didalam sungai ini hidup berjenis-jenis ikan yang dapat menambah penghasilan rakyat yang hidup disekitarnya.

Apabila sungai ini banjir, air bergerak naik, ikan-ikan mulai memasuki sungai melalui sungai kuantan. Melihat ikan yang begitu banyak, penduduk Pasar Usang dan sekitarnya berebut-rebut menahan lukah untuk menangkap ikan yang masuk menuju ke hulu sungai.Salah satu tempat berkumpulnya ikan-ikan itu adalah disuatu lubuk yang bernama Lubuk Sayak.

Dilubuk inilah masyarakat berebut-rebut memasang lukah, menjala, merosok, meambai dan memosok. Musim kemarau, masyarakat bersiap-siap membuat lukah, jala, ambai dan posok. Alat penangkap ikan yang dianggap paling praktis digunakan untuk menangkap ikan adalah lukah. Untuk daerah rantau kuantan jika air meluap.

Masyarakat disekitar lubuk sayak telah mempersiapkan lukah. Negeri Pangean merupakan suatu negeri yang mempunyai banyak ragam kebudayaan di daerah rantau kuantan. Negeri Pangean merupakan pusat pengembangan olah raga bela diri yang terkenal dengan nama ‘Silat Pangean’.

Menurut orang tua-tua di Pangean ini banyak sekali cerita-cerita rakyat, yang bukti peninggalan cerita itu masih dapat dilihat dan dibuktikan kebenarannya. Dalam buku ini, cerita yang akan diungkapkan, adalah cerita “Ombak Nyalo dan Simutu Olang”.

Jarak negeri Pangean ke kota Teluk Kuantan lebih kurang 35 Km, dengan Pasar Baserah 7 Km. Masyarakat Pangean hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Seni bela diri yang terkenal di daerah ini adalah silat pedang, silat tangan dan silat perisai yang tetap berkembang dan lestari hingga sekarang ini. Kemampuan guru-guru silat dalam mempertahankan dirinya di negeri ini telah banyak membuktikan kemampuannya baik didalam maupun diluar daerah Rantau Kuantan Singingi. Dalam lingkungan pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, daerah Pangean terletak antara Kecamatan Benai dan Kecamatan Kuantan Hilir. Negeri tetangga yang terdekat dengan Pangean adalah disebelah barat Simandolak dan Siberakun dan disebelah timur berbatasan langsung dengan Baserah.

DUA SEKAWAN MEMASANG LUKAH

Salah satu alat penangkap ikan di negeri Pangean adalah lukah, lukah ini ada yang kecil, ada yang menengah dan ada yang besar. Yang kecil ini untuk menangkap ikan yang kecil, lukah yang sedang untuk menangkap ikan yang sedang pula, sedangkan lukah yang besar untuk menangkap ikan yang besar seperti ikan tapah dan patin.

Menangkap ikan adalah merupakan kegemaran masyarakat. Kebiasaan masyarakat, sebelum membangkit lukah yang besar, mereka terlebih dahulu menjenguk lukah yang kecil yang dipasang dalam sungai-sungai kecil. Menurut lazimnya mereka kerjakan kalau air banjir lukah-lukah penuh berisi ikan lampan atau sejenisnya.

Dua orang datuk yang sangat akrab, yaitu Datuk Topo, penghulu suku Melayu dengan Datuk Siak Pokih penghulu suku Paliang, keakraban kedua datuk ini sangat tinggi. Mereka seperti merpati dua sejoli, laksana pohon aur dengan tebing, seperti kuku dengan jari. Keakraban itu sampai memasang lukah di lubuk sayak. Kalau mendapat ikan selalu dibagi sama banyak. Kalau ikan dijual, ya sama dijual. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, pada hari pertama kejadian, dua sekawan menjenguk lukahnya tak berisi sama sekali. Umpan dalam lukah habis dimakan ikan, namun ikannya entah kemana. Dalam hati kedua datuk timbul tanda tanya, kecurigaan mulai datang, keinginan untuk membuktikan kasus ini mulai tumbuh, Untuk membuktikan kecurigaan ini, masing-masing mulai menyelidiki.

Siapa pelaku pencuri ikan dalam lukah mereka berdua. Selesai sholat subuh kedua datuk yang sehati dan sejiwa ini berangkat untuk mencari tau siapa yang sebenarnya telah mengambil ikan yang ada didalam lukah mereka. Di pagi buta itu Datuk Topo dan Datuk Siak Pokih bergerak mendekati lukah pertamanya dari kejauhan mereka melihat seorang gadis cantik berjalan di dekat lukah yang sedang terpasang. Gadis itu langsung mengangkat dan mengambil ikan yang ada pada lukah tersebut, pada mulanya kedua datuk ini tidak percaya gadis itu pencuri ikan dalam lukahnya, karena wajahnya yang cantik dan bentuknya yang menarik tidak mungkin seorang pencuri. Kemudian kedua datuk sekawan itu terus mengintip dan mengikuti gerak-gerik gadis itu sampai kepada lukah yang kedua.

Sampai pada giliran pada lukah yang ketiga hari pun sudah semakin terang, wajah sang pencuri semakin jelas, dengan sangat berhati-hati sampai kepada lukah yang keempat, lirikan dan pandangan mata gadis yang menawan itu semakin liar, gerak geriknya semakin mencurigakan, setelah pandang melayang jauh tak ada yang dikuatirkan gadis itupun turun membangkit lukah dan mengambil ikan yang ada di dalam lukah tersebut. Dalam keadaan mengambil ikan itulah, tiba-tiba datuk dua sekawan keluar dari semak-semak dan langsung dan mempergoki dan menangkap sipencuri, tanpa mengadakan perlawanan sipencuri digiring mereka masuk desa.

GADIS KAYANGAN TERTANGKAP MENCURI IKAN

Pagi itu, matahari mulai memancarkan cahayanya menerangi bumi. Sipencuri yang telah berpraktek selama 3 hari, akhirnya tertangkap tangan. Satu-satunya jalan bagi pencuri harus mengakui perbuatannya yang terlarang, dua sekawan tak mau main hakim sendiri. Sipencuri langsung dihadapkan kepada ninik mamak untuk diadili dan diberi hukuman sesuai dengan perbuatannya.

Sebelum gadis cantik itu diberi hukuman oleh ninik mamak, terlebih dahulu sipencuri ditanya oleh dua sekawan, siapa namanya, nama ayah, negeri asal, nama sukunya dan pekerjaannya.

Gadis itu menjawab: “Nama saya adalah Dayang Pinang, anak dari orang bunian, tidak bersuku dan tidak berkampung. Saya adalah seorang gadis yang diusir oleh ibu dan ayah, karena melanggar larangan dan pantangan dalam masyarakat jin di alam kayangan. Saya tidak dibenarkan lagi kembali ke alam kayangan. Kesetiaanku telah dicabut dan saya tidak mungkin untuk kembali lagi ke asalku, karena hidupku yang terlunta-lunta, kepada siapa saya akan mengadu, saya mencuri karena terpaksa. Disamping pekerjaan ini saya lakukan adalah dengan tujuan dan maksud yang terkandung dalam hati, agar saya ditangkap oleh para penghulu dan datuk di negeri ini. Saya telah tahu, bahwa datuk-datuk penghulu dua sekawan tidak akan menyiksa saya, seandainya saya mereka tangkap sekaligus akan mengetahui nasib dan penderitaan bathin yang sedang saya tanggungkan. Seandainya datuk penghulu memang marah pada kelakuan dan perbuatan saya yang tidak baik dan sangat dilarang di desa ini saya mohon ma’af dan berjanji tidak akan melakukan lagi.”

Mendengar pengakuan gadis yang cantik ini, datuk dua sekawan timbul rasa belas kasihan. Mereka berkata: “ Kami tidak akan menghukum, kami akan menjadikan anak kami. Walaupun kamu berasal dari bangsa jin.” Gadis cantik itu berkata : “karena saya telah mengucapkan janji, maka saya akan mengikuti perintah datuk. Kalau saya dibuang akan jauh, kalau digantung saya akan tinggi.”

Menyimak ucapan dan penyampaian gadis ini, datuk penghulu yang berdua, lembaga adat negeri memutuskan : “Kami dari lembaga adat dari suku-suku yang ada dalam negeri, memutus dengan mempertimbangkan pengakuan dari gadis kayangan serta pernyataan yang disampaikan oleh kedua datuk pimpinan suku dalam negeri, bahwa gadis kayangan ini dikembalikan kepada datuk yang berdua.” Demikian pelaksanaan rapat yang berlangsung selama tiga batang rokok ini. Untuk sementara, sesuai dengan perundingan dua sekawan, gadis cantik ini dibawa dahulu kerumah Datuk Topo, penghulu suku Melayu. Tentang ketentuan selanjutnya akan dimusyawarahkan setelah situasi agak tenang.

Kedua datuk ini mengadakan pertemuan, mendudukkan permasalahan gadis yang mereka pungut sewaktu mencari ikan, maka terjadi pertengkaran antara Datuk Topo dengan Datuk Siak Pokih. Datuk Topo berkata : “Kalau gadis ini tidak didudukkan permasalahannya, nasibnya akan sama dengan nasib yang sebelumnya. Saya menginginkan agar dia masuk kedalam suku melayu, karena suku melayu Negeri Pangean ini termasuk suku yang terbesar. Kalau dia masuk suku melayu berarti pemuda dari suku Paliang dan suku Cermin dapat melamarnya untuk dijadikan istri. Seandainya dia tidak dijadikan anak angkat, maka akan berezki adalah orang luar, kita yang merugi.”

Pendapat dan saran yang diutarakan Datuk Topo ini tidak mendapat sambutan yang baik oleh Datuk Siak Pokih. Mereka masing-masing ingin memiliki gadis cantik itu. Pertengkaran kedua sekawan ini tak kunjung berpangkal dan berujung dan mengarah kepada perkelahian mulut dan akan disudahi oleh bentrokan fisik. Keakraban yang terjalin baik selama ini akan pecah, akibat masing-masing mempertahankan pendapat dan keinginan.

Datuk Topo berkata : “Saya tidak menginginkan persahabatan kita yang baik dan kokoh, seperti kuku dengan jari, sekarang akan pecah dan pecahannya akan sirna karena permasahan ini. Terakhir saya nasehatkan, baik kita adakan pertandingan antara dubalang Suku Melayu dengan Dubalang Suku Paliang. Dubalang yang menang dalam pertandingan perkelahian, maka dialah yang berhak mengawini atau menikahi gadis kayangan itu. Yang kalah janganlah berkecil hati, karena masing-masing telah berusaha untuk mendapatkan gadis tersebut.” Pendapat Datuk Topo ini diterima oleh ketua penghulu. Sebagai tanda setuju perlu disadari: “Semenjak kita muda selalu kompak, serumpun bagaikan serai, sebungkus bagaikan nasi, sedoncing bak besi, seciok bak ayam, setelah tua, senja mulai melintas, cahaya kelabu telah terbentang luas, suatu pertanda umur kita tidak beberapa lagi, ajal telah menunggu, kematian datang menjemput, dunia akan ditinggalkan, kehidupan di akhirat perlu jadi perhatian.” Dasar permupakatan itu ditetapkan hari pertandingan perkelahian.

Datuk Penghulu Sutan menetapkan : “Pertandingan itu akan kita adakan tiga bulan lagi.” Datuk Topo menyetujui apa yang dikatakan oleh Datuk Penghulu Sutan. Hasil perundingan yang telah disepakati oleh Datuk Topo kemudian disampaikan kepada Jurai Monti dan Dubalang. Karena Dubalang suku Paliang pada waktu itu tidak ada, maka menurut para Monti baiknya didatangkan dubalang dari Kuntu Darussalam sebagai dubalang kita, dan dialah yang akan mewakili dubalang suku Paliang dalam pertandingan esok.

Menurut Datuk Siak Pokih : “Dubalang dari Kuntu Darussalam itu memang baik, punya ilmu kebathinan yang banyak.” Seorang Monti bertanya : “Kami dari Jurai Monti ingin tahu siapa nama dari dubalang kita itu?”, jawab Datuk Siak Pokih : “Namanya adalah Simutu Olang” Merupakan dubalang yang terkenal dari daerah Kampar Kiri. “Kalau begitu kami dari Monti setuju yang akan bertanding itu adalah Dubalang Simutu Olang, yang diharapkan akan dapat membawa nama baik Suku Paliang.” Monti yang lain berkata : “Mumpung kita dalam mupakat, saya mengusulkan, sebelum akan bertanding, Simutu Olang sudah berada di kampung ini, gunanya untuk mengatur siasat dan strategi yang sangat perlu kita bicarakan.”

Kata Datuk Siak Pokih : “Dalam bertanding, kita jangan memperlihatkan keangkuhan dan kesombongan, kalau kita kalah, kita akan mengakui kekalahan kita, kita harus mengakui kehebatan dan kepintaran lawan. Juga sebaliknya kalau kita menang mereka harus mengakui kemenangan kita.” Setelah ada kesepakatan perundingan, masing-masing setuju untuk mendatangkan Simutu Olang untuk bertanding, dengan kekompakan para Monti demi melaksanakan keputusan datuk dua sekawan masing-masing setuju, semoga segala rencana akan berjalan dengan sukses dan lancar. Dengan adanya pertandingan ini, dikedai-kedai kopi muncul berbagai pendapat. Pendapat-pendapat itu mulai simpang siur. Disebuah kedai kopi seorang datuk penghulu berkata : “Dahulunya Datuk Topo dan Siak Pokih selalu kompak, mereka tak berselisih paham atau berbeda pendapat. Mereka sangat serasi, bahkan silang sengketapun jauh dari mereka. Mereka selalu ikut mengikuti, seiya sekata. Bak pepatah berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing, manis sama ditelan, pahit sama dimuntahkan, ke bukit sama mendaki kelurah sama menurun. Tuhan maha kaya yang dapat menciptakan isi alam ini terdiri dari berpasangan dan ada yang berlawanan.

Misalnya ada yang pintar dan ada yang bodoh, persatuan lawannya perpecahan, baik lawannya buruk. Benar sekali apa yang diucapkan orang-orang cerdik pandai dahulunya itu. Bak kata pemuka adat : “Sifat yang sama jangan dipertemukan. Yang harus dipertemukan adalah sifat dan pendapat yang berbeda.” Seisi kedai kopi duduk terdiam mendengarkan perkataan datuk itu. Datuk itu meneruskan lagi perkataannya : “Perbedaan itu dalam negara kita ini, membawa kepada kebenaran yang hakiki. Kadangkala sifat yang sama akan membawa kepada kehancuran, sama-sama sabar mendatangkan malapetaka yang membawa kepada kefatalan. Tuhan telah menciptakan mahluk di dunia ini tidak ada yang sama. Kalau sama tapi berbeda. Kata orang sekarang, serupa tapi tak sama.

Sama bentuk fisik, berbeda pada sikap. Sama wataknya tapi bentuk kulit dan mukanya berbeda. Demikian tuhan menjadikan alam ini sangat bervariasi. Ada gunung ada lembah dan ngarai, ada padang pasir ada hutan belantara, ada samudera dan ada daratan yang maha luas. Ada sungai-sungai yang panjang dan berhenti-hentinya air mengalir ke muara. Dilangit ada bulan, bintang, awan dan hujan, cuaca mendung yang tebal dan gelap, sering-sering diiringi cahaya yang terang dan cerah. Hewan berkeliaran diatas dunia ini juga demikian. Ada yang jinak ada yang liar, ada yang buas dan ada yang memamabiak, ada yang besar dan ada yang paling halus bahkan sangat kecil. Diudara berterbangan burung-burung yang bulunya beraneka ragam, ada yang suaranya merdu menarik perhatian orang.

Pokoknya tidak ada yang sama, tempat sama waktu berbeda. Begitu pula Datuk Topo dan Siak Pokih, dulunya kompak, seiya sekata yang kini telah pecah. Dialam ini tidak ada yang kekal dan abadi, sifatnya selalu berobah. Memang begitu sifat dan kodratnya. Kalau kita mendapat dukungan dari penguasa, dukungan itu hanya sementara. Didesa ini yang berkuasa dalam adat adalah datuk penghulu dan ninik mamak. Penghulu punya anak, cucu dan kemenakan. Punya tanah ulayat yang dipersiapkan untuk kemenakan, mamak dalam adat berfungsi biangkan mencabik, gentingkan diputus, membuang jauh, menggantungkan tinggi, menghitam memutihkan. Yang bersalah dihukum yang berhutang membayar, tangan mencencang bahu memikul. Datuk dua sekawan sama-sama berminat untuk memiliki gadis cantik itu, akhirnya mereka bertengkar yang disudahi dengan adu dubalangnya. Inilah salah satu cara yang diambil jalan keluar untuk menghilangkan rasa ketidaksenangan diantara mereka berdua, adil dalam menimbang, tepat dalam mengukur, akan menghasilkan keputusan yang benar, yang akan dipegang erat, dituruti dan dipatuhi oleh anak cucu dan kemenakan dalam nagori.

{bersambung............! }

Cerita Rakyat Kuansing
PekanbaruRiau.Com

By : DESY SASMITA
"KARYASASTRADESY.blogspot.com"
Cerita Rakyat Melayu Riau - Batu Batangkup
Cerita rakyat melayu ini sejak aku kecil dah pernah kudengar. Dahulu setahuku judulnya “Batu Belah Batu Betangkup” yang berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup (terbelah dan kemudian bersatu kembali) seperti kerang. Pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita diberi judul Batu Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan kerjasama antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Berikut saduran/gubahan dari buku tersebut :
Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.

Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.
“Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.

Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.

“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.

Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.

“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.

Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.

Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah
muncul kembali.

Cerita Rakyat Melayu Riau - Batu Batangkup
Cerita rakyat melayu ini sejak aku kecil dah pernah kudengar. Dahulu setahuku judulnya “Batu Belah Batu Betangkup” yang berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup (terbelah dan kemudian bersatu kembali) seperti kerang. Pada buku Cerita Rakyat Melayu keluaran Adicita diberi judul Batu Batangkup dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan kerjasama antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Berikut saduran/gubahan dari buku tersebut :
Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan dua orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan setiap hari menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.

Ketiga anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.
“Yaaa Tuhan, tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.

Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya. Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang menyebutnya Batu Batangkup.

“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari rambut Mak Minah yang panjang.

Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi. Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar. Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup dan melihat ujung rambut emaknya.

“Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu…,” ratap mereka. “Tidak!!! Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.

Maka mereka kemudian rajing membantu emak, menyayanngi serta patuh dan menghormati emak. Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati emak.

Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian. Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang tidak pernah muncul kembali.

By : DESI SASMITA
"KARYASASTRADESY.blogspot.com"
Si Lancang Kuning (Cerita Rakyat Riau)

Alkisah tersebutlah sebuah cerita,
di daerah Kampar pada zaman dahulu
hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat
miskin. Mereka berdua
bekerja sebagai buruh tani.

Untuk memperbaiki hidupnya, maka Si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari ia meminta ijin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar di rantau orang kelak Si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar Si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.

Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya menjadi terharu saat Si Lancang menyembah lututnya untuk minta berkah. Ibunya membekalinya
sebungkus lumping dodak, kue kegemaran Si Lancang.

Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata Si Lancang sangat beruntung. Ia
menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal
dagang. Dikhabarkan ia pun mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua
berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Sedangkan ibunya, masih tinggal
di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.

Pada suatu hari, Si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia
membawa ke tujuh isterinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah
dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat
musik itu dibunyikan riuh rendah. Sementara itu kain sutra dan aneka
hiasan emas dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan
kemewahan dan kekayaan Si Lancang.

Berita kedatangan Si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan
terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya
tersebut. Karena miskinnya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung
usang dan kebaya penuh tambalan. Dengan memberanikan diri dia naik ke
geladak kapal mewahnya Si Lancang.

Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya Si Lancang, tidak ada
seorang kelasi pun yang mempercayainya. Dengan kasarnya ia mengusir ibu
tua tersebut. Tetapi perempuan itu tidak mau beranjak. Ia ngotot minta
untuk dipertemukan dengan anaknya Si Lancang. Situasi itu menimbulkan
keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, Si Lancang dengan diiringi oleh
ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika
menyaksikan bahwa perempuan compang camping yang diusir itu adalah ibunya.

Ibu si Lancang pun berkata, "Engkau Lancang ... anakku! Oh ... betapa
rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya Lancang
menepis. Anak durhaka inipun berteriak, "mana mungkin aku mempunyai ibu
perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini."

Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di
rumah, lalu ia mengambil pusaka miliknya. Pusaka itu berupa lesung
penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya
dan dikibas-kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "ya Tuhanku ...
hukumlah si Anak durhaka itu."

Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat
dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik
Si Lancang.

Bukan hanya kapal itu hancur berkeping-keping, harta benda
miliknya juga terbang ke mana-mana. Kain sutranya melayang-layang dan
jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya
terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang
menjadi Pasubilah. Sedangkan tiang bendera kapal Si Lancang terlempar
hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.

(Disadur dari B. M. Syamsuddin, "Banjir Air Mata Si Lancang," Cerita
Rakyat Dari Riau 2, Jakarta: PT Grasindo, hal. 44-49).

By : DESI SASMITA
KARYASASTRADESY.blogspot.com
Putri Tujuh | Cerita Rakyat Dumai

Putri Tujuh adalah cerita Rakyat yang berasal dari Kota Dumai, berikut ceritanya:Dulu, Dumai hanyalah sebuah dusun nelayan yang sepi, berada di pesisir Timur Propinsi Riau, Indonesia. Kini, Dumai yang kaya dengan minyak bumi itu, menjelma menjadi kota pelabuhan minyak yang sangat ramai sejak tahun 1999. Kapal-kapal tangki minyak raksasa setiap hari singgah dan merapat di pelabuhan ini. Kilang-kilang minyak yang tumbuh menjamur di sekitar pelabuhan menjadikan Kota Dumai pada malam hari gemerlapan bak permata berkilauan. Kekayaan Kota Dumai yang lain adalah keanekaragaman tradisi. Ada dua tradisi yang sejak lama berkembang di kalangan masyarakat kota Dumai yaitu tradisi tulisan dan lisan. Salah satu tradisi lisan yang sangat populer di daerah ini adalah cerita-cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Sampai saat ini, Kota Dumai masih menyimpan sejumlah cerita rakyat yang digemari dan memiliki fungsi moral yang amat penting bagi kehidupan masyarakat, misalnya sebagai alat pendidikan, pengajaran moral, hiburan, dan sebagainya. Salah satu cerita rakyat yang masih berkembang di Dumai adalah Legenda Putri Tujuh. Cerita legenda ini mengisahkan tentang asal-mula nama Kota Dumai.


Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d‘umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.

Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.

Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.

Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan.

Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sampai kini, pengorbanan Putri Tujuh itu tetap dikenang dalam sebuah lirik:

Umbut mari mayang diumbut
Mari diumbut di rumpun buluh
Jemput mari dayang dijemput
Mari dijemput turun bertujuh
Ketujuhnya berkain serong
Ketujuhnya bersubang gading
Ketujuhnya bersanggul sendeng
Ketujuhnya memakai pending

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.
Sumber:
• Disadur dari buku: Legenda Putri Tujuh: Asal Mula Kota Dumai. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Adicita Karya Nusa, 2005.
• By : DESI SASMITA
KARYASASTRADESY.blogspot.com
.

Cerita rakyat riau

Cerita Rakyat Pekanbaru Riau – Putri Kaca Mayang

Kota Pekanbaru adalah salah satu Daerah Tingkat II sekaligus sebagai ibukota Provinsi Riau, Indonesia. Sebelum ditemukannya sumber minyak, Pekanbaru hanyalah sebuah kota pelabuhan kecil yang berada di tepi Sungai Siak. Namun, saat ini Pekanbaru telah menjadi kota yang ramai dengan aktifitas perdagangannya. Letaknya yang strategis (berada di simpul segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapura), menjadikan Kota Pekanbaru sebagai tempat transit (persinggahan) para wisatawan asing, baik dari Singapura maupun Malaysia, yang hendak berkunjung ke Bukittinggi atau tempat-tempat lain di Sumatera.

Keberadaan Kota Pekanbaru yang ramai ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri bagi masyarakat Riau. Terdapat dua versi mengenai asal-mula kota ini yaitu versi sejarah dan versi cerita rakyat. Menurut versi sejarah, pada masa silam kota ini hanya berupa dusun kecil yang dikenal dengan sebutan Dusun Senapelan, yang dikepalai oleh seorang Batin (kepala dusun). Dalam perkembangannya, Dusun Senapelan berpindah ke tempat pemukiman baru yang kemudian disebut Dusun Payung Sekaki, yang terletak di tepi Muara Sungai Siak. Perkembangan Dusun Senapelan ini erat kaitannya dengan perkembangan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pada masa itu, raja Siak Sri Indrapura yang keempat, Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, bergelar Tengku Alam (1766-1780 M.), menetap di Senapelan, yang kemudian membangun istananya di Kampung Bukit berdekatan dengan Dusun Senapelan (di sekitar Mesjid Raya Pekanbaru sekarang). Tidak berapa lama menetap di sana, Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian membangun sebuah pekan (pasar) di Senapelan, tetapi pekan itu tidak berkembang. Usaha yang telah dirintisnya tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya, Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yaitu di sekitar pelabuhan sekarang. Selanjutnya, pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau tanggal 23 Juni 1784 M., berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar dan Kampar), negeri Senapelan diganti namanya menjadi Pekan Baharu. Sejak saat itu, setiap tanggal 23 Juni ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Mulai saat itu pula, sebutan Senapelan sudah ditinggalkan dan mulai populer dengan sebutan Pekan Baharu. Sejalan dengan perkembangannya, kini Pekan Baharu lebih populer disebut dengan sebutan Kota Pekanbaru, dan oleh pemerintah daerah ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Riau.

Sementara menurut versi cerita rakyat yang sampai saat ini masih berkembang di kalangan masyarakat Riau, kerajaan yang berdiri di tepi Sungai Siak itu bernama Gasib. Kerajaan ini diperintah oleh seorang raja yang bernama Gasib. Konon, Raja Gasib memiliki seorang putri yang cantik jelita, namanya Putri Kaca Mayang. Namun tak seorang raja atau bangsawan yang berani meminang sang Putri, karena mereka segan kepada Raja Gasib yang terkenal memiliki panglima gagah perkasa yang bernama Gimpam. Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan diri meminang sang Putri, namun pinangannya ditolak oleh Raja Gasib. Karena kecewa dan merasa terhina, Raja Aceh berniat membalas dendam. Apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Gasib? Bagaimana nasib sang Putri? Lalu, apa hubungannya cerita ini dengan asal mula Kota Pekanbaru? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kaca Mayang berikut ini.

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi Sungai Siak berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Gasib. Kerajaan ini sangat terkenal, karena mempunyai seorang panglima yang gagah perkasa dan disegani, Panglima Gimpam namanya. Selama ia menjadi penglima Kerajaan Gasib, tiada satu pun kerajaan lain yang dapat menaklukkannya.

Selain itu, Kerajaan Gasib juga mempunyai seorang putri yang kecantikannya sudah masyhur sampai ke berbagai negeri, Putri Kaca Mayang namanya. Meskipun demikian, tak seorang raja pun yang berani meminangnya. Mereka merasa segan meminang sang Putri, karena Raja Gasib terkenal mempunyai Panglima Gimpam yang gagah berani itu.

Pada suatu hari, Raja Aceh memberanikan dirinya meminang Putri Kaca Mayang. Ia pun mengutus dua orang panglimanya untuk menyampaikan maksud pinangannya kepada Raja Gasib. Sesampainya di hadapan Raja Gasib, kedua panglima itu kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Ampun, Baginda! Kami adalah utusan Raja Aceh. Maksud kedatangan kami adalah untuk menyampaikan pinangan raja kami,” lapor seorang utusan. “Benar, Baginda! Raja kami bermaksud meminang Putri Baginda yang bernama Putri Kaca Mayang,” tambah utusan yang satunya.

“Maaf, Utusan! Putriku belum bersedia untuk menikah. Sampaikan permohonan maaf kami kepada raja kalian,” jawab Raja Gasib dengan penuh wibawa. Mendengar jawaban itu, kedua utusan tersebut bergegas kembali ke Aceh dengan perasaan kesal dan kecewa.

Di hadapan Raja Aceh, kedua utusan itu melaporkan tentang penolakan Raja Gasib. Raja Aceh sangat kecewa dan merasa terhina mendengar laporan itu. Ia sangat marah dan berniat untuk menyerang Kerajaan Gasib.

Sementara itu, Raja Gasib telah mempersiapkan pasukan perang kerajaan untuk menghadapi serangan yang mungkin terjadi, karena ia sangat mengenal sifat Raja Aceh yang angkuh itu. Panglima Gimpam memimpin penjagaan di Kuala Gasib, yaitu daerah di sekitar Sungai Siak.

Rupanya segala persiapan Kerajaan Gasib diketahui oleh Kerajaan Aceh. Melalui seorang mata-matanya, Raja Aceh mengetahui Panglima Gimpam yang gagah perkasa itu berada di Kuala Gasib. Oleh sebab itu, Raja Aceh dan pasukannya mencari jalan lain untuk masuk ke negeri Gasib. Maka dibujuknya seorang penduduk Gasib menjadi penunjuk jalan.

“Hai, orang muda! Apakah kamu penduduk negeri ini?, tanya pengawal Raja Aceh kepada seorang penduduk Gasib. “Benar, Tuan!” jawab pemuda itu singkat. “Jika begitu, tunjukkan kepada kami jalan darat menuju negeri Gasib!” desak pengawal itu. Karena mengetahui pasukan yang dilengkapi dengan senjata itu akan menyerang negeri Gasib, pemuda itu menolak untuk menunjukkan mereka jalan menuju ke Gasib. Ia tidak ingin menghianati negerinya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya saya tidak tahu seluk-beluk negeri ini,” jawab pemuda itu. Merasa dibohongi, pengawal Raja Aceh tiba-tiba menghajar pemuda itu hingga babak belur. Karena tidak tahan dengan siksaan yang diterimanya, pemuda itu terpaksa memberi petunjuk jalan darat menuju ke arah Gasib.

Berkat petunjuk pemuda itu, maka sampailah prajurit Aceh di negeri Gasib tanpa sepengetahuan Panglima Gimpam dan anak buahnya. Pada saat prajurit Aceh memasuki negeri Gasib, mereka mulai menyerang penduduk. Raja Gasib yang sedang bercengkerama dengan keluarga istana tidak mengetahui jika musuhnya telah memporak-porandakan kampung dan penduduknya. Ketika prajurit Aceh menyerbu halaman istana, barulah Raja Gasib sadar, namun perintah untuk melawan sudah terlambat. Semua pengawal yang tidak sempat mengadakan perlawanan telah tewas di ujung rencong (senjata khas Aceh) prajurit Aceh. Dalam sekejap, istana berhasil dikuasai oleh prajurit Aceh. Raja Gasib tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menyaksikan para pengawalnya tewas satu-persatu dibantai oleh prajurit Aceh. Putri Kaca Mayang yang cantik jelita itu pun berhasil mereka bawa lari.

Panglima Gimpam yang mendapat laporan bahwa istana telah dikuasai prajurit Aceh, ia bersama pasukannya segera kembali ke istana. Ia melihat mayat-mayat bergelimpangan bersimbah darah. Panglima Gimpam sangat marah dan bersumpah untuk membalas kekalahan Kerajaan Gasib dan berjanji akan membawa kembali Putri Kaca Mayang ke istana.

Pada saat itu pula Panglima Gimpam berangkat ke Aceh untuk menunaikan sumpahnya. Dengan kesaktiannya, tak berapa lama sampailah Panglima Gimpam di Aceh. Prajurit Aceh telah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Mereka telah menyiapkan dua ekor gajah yang besar untuk menghadang Panglima Gimpam di gerbang istana. Ketika Panglima Gimpam tiba di gerbang istana, ia melompat ke punggung gajah besar itu. Dengan kesaktian dan keberaniannya, dibawanya kedua gajah yang telah dijinakkan itu ke istana untuk diserahkan kepada Raja Aceh.

Raja Aceh sangat terkejut dan takjub melihat keberanian dan kesaktian Panglima Gimpam menjinakkan gajah yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya. Akhirnya Raja Aceh mengakui kesaktian Panglima Gimpam dan diserahkannya Putri Kaca Mayang untuk dibawa kembali ke istana Gasib.

Setelah itu, Panglima Gimpam segera membawa Putri Kaca Mayang yang sedang sakit itu ke Gasib. Dalam perjalanan pulang, penyakit sang Putri semakin parah. Angin yang begitu kencang membuat sang Putri susah untuk bernapas. Sesampainya di Sungai Kuantan, Putri Kaca Mayang meminta kepada Panglima Gimpam untuk berhenti sejenak. “Panglima! Aku sudah tidak kuat lagi menahan sakit ini. Tolong sampaikan salam dan permohonan maafku kepada keluargaku di istina Gasib,” ucap sang Putri dengan suara serak. Belum sempat Panglima Gimpam berkata apa-apa, sang Putri pun menghembuskan nafas terakhirnya. Panglima Gimpam merasa bersalah sekali, karena ia tidak berhasil membawa sang Putri ke istana dalam keadaan hidup. Dengan diliputi rasa duka yang mendalam, Panglima Gimpam melanjutkan perjalanannya dengan membawa jenazah Putri Kaca Mayang ke hadapan Raja Gasib.

Sesampainya di istana Gasib, kedatangan Panglima Gimpam yang membawa jenazah sang Putri itu disambut oleh keluarga istana dengan perasaan sedih. Seluruh istana dan penduduk negeri Gasib ikut berkabung. Tanpa menunggu lama-lama, jenazah Putri Kaca Mayang segera dimakamkan di Gasib. Sejak kehilangan putrinya, Raja Gasib sangat sedih dan kesepian. Semakin hari kesedihan Raja Gasib semakin dalam. Untuk menghilangkan bayangan putri yang amat dicintainya itu, Raja Gasib memutuskan untuk meninggalkan istana dan menyepi ke Gunung Ledang, Malaka.

Untuk sementara waktu, pemerintahan kerajaan Gasib dipegang oleh Panglima Gimpam. Namun, tak berapa lama, Panglima Gimpam pun berniat untuk meninggalkan kerajaan itu. Sifatnya yang setia, membuat Panglima Gimpam tidak ingin menikmati kesenangan di atas kesedihan dan penderitaan orang lain. Ia pun tidak mau mengambil milik orang lain walaupun kesempatan itu ada di depannya.

Akhirnya, atas kehendaknya sendiri, Panglima Gimpam berangkat meninggalkan Gasib dan membuka sebuah perkampungan baru, yang dinamakan Pekanbaru. Hingga kini, nama itu dipakai untuk menyebut nama ibukota Provinsi Riau yaitu Kota Pekanbaru. Sementara, makam Panglima Gimpam masih dapat kita saksikan di Hulu Sail, sekitar 20 km dari kota Pekanbaru.

* * *

Cerita rakyat di atas tidak hanya mengandung nilai-nilai sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai moral tersebut adalah sifat setia dan tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kedua sifat tersebut tercermin pada sifat Panglima Gimpam. Kesetiaan Panglima Gimpam ditunjukkan pada sifatnya yang tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan rajanya, Raja Gasib. Ia tidak mau menikmati segala kesenangan dan kemewahan yang ada dalam istana, sementara rajanya hidup menderita dan dirundung perasaan sedih, karena ditinggal mati oleh putri tercintanya. Di samping itu, Panglima Gimpam juga merasa bahwa ia tidak berhak untuk menikmati segala kemewahan itu, karena bukan hak miliknya.

Dalam kehidupan orang Melayu, hak dan milik, baik dimiliki pribadi, masyarakat, atau penguasa sangatlah dijunjung tinggi. Orang tua-tua Melayu mengatakan, “yang hak berpunya, yang milik bertuan.” Dalam ungkapan adat juga disebutkan, “hak orang kita pandang, milik orang kita kenang, pusaka orang kita sandang,” yang maksudnya adalah hak dan milik orang wajib dipandang, dikenang, dipelihara, dihormati, dan dijunjung tinggi. Merampas dan menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah, oleh orang tua-tua Melayu dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan:

apa tanda orang terkutuk,
mengambil milik orang lain ia kemaruk

apa tanda orang celaka,
mengambil hak orang lain semena-mena

Orang tua-tua Melayu juga senantiasa mengingatkan kepada anak kemenakan ataupun anggota masyarakatnya, agar tidak menuruti hawa nafsu, menjauhkan sifat loba dan tamak terhadap harta. Kalaupun memiliki harta benda, hendaknya dipelihara dengan baik dan benar supaya dapat memberikan manfaat bagi kehidupan di dunia dan di akhirat. Tennas Effendy dalam bukunya “Tunjuk Ajar Melayu” banyak menyebutkan tentang kemuliaan memelihara dan memanfaatkan hak milik, baik dalam bentuk ungkapan, syair, maupun pantun. Dalam bentuk ungkapan di antarnya:

apa tanda Melayu jati,
hak miliknya ia cermati
hak milik orang lain ia hormati

apa tanda Melayu jati,
memanfaatkan hak milik berhati-hati

apa tanda Melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela

Dalam untaian syair dikatakan:

wahai ananda buda berpesan,
harta orang engkau haramkan
milik orang engkau peliharakan
hak orang engkau muliakan

Dalam untaian pantun juga dikatakan:

buah barangan masak setangkai
patah tangkai jatuh ke tanah
harta orang jangan kau pakai
salah memakai masuk pelimbah

Sumber :

* Diringkas dari Puteri Kaca Mayang: Asal-Mula Kota Pekanbaru.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu.
* Indonesian Community. Sejarah Berdirinya Kota Pekanbaru.

#By : DESI SASMITA “KARYASASTRADESY.blogspot.com”